Selasa, Januari 20, 2009

Kaili Dan Budaya Perakawinannya



ETNIS KAILI DAN ADAT PITUMPOLE

TO KAILI atau orang Kaili, adalah salah satu etnis yang memiliki sub etnis terbesar dari 24 etnis yang hidup di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. Kebanyakan etnis Kaili mendiami wilayah lembah Palu, sebagai ibukota propinsi, memiliki berbagai keragaman seni budaya yang menjadi eksotika, pesona keindahan kehidupan masyarakatnya, ditunjang dengan panorama alam yang tak kalah banding dengan daerah lain di Indonesia.
Dari rupa warna dinamika kehidupan budayanya, hingga saat ini yang masih tumbuh lestari, dipelihara oleh masyarakat Kaili adalah ADAT PERKAWINAN.
Salah satu adat perkawinan yang masih terpelihara dan dilaksanakan adalah rangkaian adat perkawinan bangsawan etnis Kaili Kota Palu di Sulawesi Tengah “PITU MPOLE “ .

PITU artinya tujuh dan MPOLE berarti ikatan. Simbol dari adat PITUMPOLE adalah TAIGANJA ( terbuat dari emas sebagai lambang kehormatan adat), DOKE dan TINGGORA serta 7 (tujuh) lembar kain MBESA (kain kulit kayu) yang diletakkan di atas DULA PALANGGA ( dulang berkaki ), diserahkan oleh pihak keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita pada saat NANGORE BALANJA (mengantar harta).
Makna dari PITUMPOLE adalah MABOSU TAINA ( cukup pangan ), MARANGGALA BUKUNA ( kuat / kekar ), MANAPA POPAKEANA ( cukup sandang ), MANOU BALENGGANA ( teduh ), MAPIRI MATANA (lelap dalam tidur), MALINO TALINGANA ( tenang dalam pendengaran ), MAREME PANGANTOAKANA ( terang dalam penglihatan ).


SEBELUM PERKAWINAN
Sebelum saat perkawinan tiba, terlebih dahulu dilakukan beberapa upacara adat, yaitu :

NOTATE DALA
Bilamana pilihan calon istri telah disepakati oleh orang tua dan seluruh keluarga dekat dan anak laki – laki itu sendiri, maka diadakanlah usaha NOTATE DALA, yaitu merintis jalan akan adanya kemungkinan jalan yang terbuka bagi pihak keluarga laki – laki untuk meneruskan peminangan.
Upacara ini bertujuan untuk mencari informasi tentang apakah calon pengantin perempuan sudah terikat dengan laki – laki lain atau belum.
NOTATE DALA tentunya akan berdampak pada dua kemungkinan, yaitu pinangan diterima atau ditolak. Bagi etnis Kaili, penolakan pinangan dianggap satu hal yang cukup memalukan pihak keluarga laki – laki.
Prosesi usaha merintis jalan (NOTATE DALA) dilakukakan dengan cara mengutus keluarga terdekat pihak laki – laki yang disebut suro atau kurir, berkunjung secara kekeluargaan ke rumah pihak keluarga perempuan untuk mencari informasi. Utusan ini melaksanakan tugasnya dengan sangat rahasia menyampaikan niat pihak keluarga laki - laki kepada pihak orang tua perempuan. Penyampaian maksud kedatangan merekapun menggunakan kata – kata kias sebagai media penyampaiannya.
Bila jalan yang dirintis telah terbuka, NOTATE DALA merupakan tonggak utama untuk melanjutkan niat pihak keluarga laki - laki untuk menuju tahapan peminangan atau nebolai.

NEBOLAI
Nebolai atau peminangan, digunakan untuk kalangan para raja atau bangsawan. Sementara untuk kalangan rakyat biasa disebut Neduta.
Tujuan peminangan yaitu mengajukan lamaran kepada anak gadis untuk dikawinkan atau dijodohkan dengan seorang laki – laki dari pihak keluarga yang melamar. Dalam bahasa Kaili maksud peminangan ialah nantarima karava nujarita dako rimombine, artinya menerima kejelasan atau ketegasan hasil musyawarah dari pihak keluarga perempuan.
Upacara ini umumnya dilakukan di rumah keluarga perempuan. Saat peminangan, biasanya anak gadis yang akan dilamar diusahakan tidak berada di rumahnya. Si gadis oleh keluarganya diajak bertandang ke rumah keluarga lainnya atau diundang secara khusus oleh keluarga terdekatnya. Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan tidak mengetahui hal – hal yang dibicarakan di rumahnya.
Dalam upacara NEBOLAI, pihak keluarga laki – laki membawa perangkat adat yang disebut SAMBULU GARO ( sirih pinang ), SAMPU LOIGI ( perhiasan emas untuk wanita ) dan SABALE KAMAGI ( buah kalung emas ) yang berfungsi sebagai PEMBEKA NGANGA atau pembuka mulut untuk mengawali pembicaraan meminang. Terjadilah dialog antara juru bicara dari pihak keluarga laki – laki atau TOPEBOLAI dengan juru bicara pihak keluarga perempuan atau TOPANTARIMA PEBOLAI.
Dari hasil pembicaraan kedua belah pihak keluarga, akhirnya SINTUVU atau kesepakatan dibulatkan untuk menjodohkan anak mereka. Sebagai simbol tanda kesepakatan, oleh utusan pihak keluarga laki – laki mengikat anak gadis yang telah dipinang dengan POMPOKADA atau pengikat kaki. Umumnya POMPOKADA berbentuk cincin kawin sebagai tanda ikatan bagi kedua calon pengantin, dengan harapan dari keluarga kedua belah pihak anak mereka tidak lagi melirik pria atau gadis lain, membatasi pergaulan mereka, bersama – sama menjaga harkat dan nama baik keluarga.

NO OVO
Setelah pembicaraan NEBOLAI atau peminangan selesai, oleh kedua belah pihak keluarga melanjutkan musyawarah mereka untuk menentukan atau NO OVO pelaksanaan mengantar harta belanjaan bagi calon pengantin wanita atau NANGORE BALANJA, penentuan mahar atau SUNDA dan hari pelaksanaan akad nikah atau EO MPONIKA, yang biasa juga disebut EO MATA MPOBOTI atau hari perkawinan.
Di kalangan etnis Kaili, menentukan hari – hari pelaksanaan upacara adat tersebut tidak sembarang. Sebuah perhitungan secara tradisi yang masih terpelihara secara turun temurun pada masyarakat Kaili yang disebut KOTIKA, digunakan untuk mencari dan menentukan hari – hari baik pelaksanaan upacara - upacara adat tersebut.
Rumus perhitungan KOTIKA sangat sederhana namun diyakini jitu untuk dijadikan perhitungan, menggunakan telapak dan jari – jari tangan yang mempunyai simbol angka dan maknanya.
NANGORE BALANJA
Upacara adat NANGORE BALANJA adalah proses penghantaran harta belanjaan darai pihak keluarga calon pengantin laki – laki ke rumah calon pengantin perempuan. Jumlah pelaksana upacara adat ini lebih besar dari jumlah pelaksana upacara adat NOTATE DALA dan NEBOLAI. Rombongan keluarga laki-laki terdiri dari para orang tua adat ( TOTUA NU ADA ), tokoh masyarakat (TOTUA NU NGATA), keluarga dan kerabat lainnya. Demikian pula halnya di rumah calon pengantin perempuan, sudah menanti pula para orang tua adat, keluarga dan kerabat mereka.Umumnya NANGORE BALANJA dilaksanakan sore hari.
Rombongan pihak keluarga laki – laki selain membawa sambulu ( sirih pinang ) yang berfungsi sebagai suatu adat yang menandakan memasuki jenjang perkawinan atau ADA MPOBEREI. Selain sambulu, harta bawaan pihak keluarga laki – laki juga membawa uang tunai ( DOI BALANJA ) yang jumlahnya sesuai kesepakatan saat NEBOLAI, beras, pakaian dan kelengkapan kosmetik calon pengantin wanita, tempat tidur lengkap, aneka buah – buahan serta kue atau penganan khas daerah.
Khusus buah – buahan, semuanya dibawa menggunakan SAVIRA, semacam keranda terbuka yang dibuat dari bambu kuning ( BOLOVATU ), diusung saat dibawa ke rumah calon pengantin perempuan.

MOTINDA ULA ULA
ULA ULA terbuat dari kain yang berbentuk orang – orangan berjumlah 2 buah, berwarna merah dan kuning dipancangkan pada sisi kanan dan kiri depan pintu pagar rumah calon pengantin wanita, memakai tiang dari bambu kuning. ULA ULA adalah simbol pelaksanaan sebuah pesta adat.
Memasang atau memancangkan ULA ULA, juga melalui prosesi adat yang disebut MOTINDA ULA ULA.
Oleh seorang pemuka adat, sebelum ULA ULA dipancangkan terlebih dahulu dibacakan mantera – mantera atau ( GANE ) lalu ditetakkan darah ayam atau (NICERA) pada tiangnya.
Setelah ULA ULA berdiri terpancang, dengan demikian pesta adat dinyatakan dimulai. Tetabuhan musik tradisional KAKULA mulai dibunyikan dan segala aktifitas pembuatan kelengkapan pesta sudah boleh dilaksanakan, seperti : membuat MATUBO (pintu gerbang) yang dihiasi janur ( NIVERA ), TANGGA LANJARA ( tangga yang terbuat dari anyaman bambu kuning ) di pintu pagar rumah calon pengantin perempuan. Pada sisi kanan dan kiri TANGGA LANJARA diletakkan pohon pisang yang berbuah tanpa daun masing – masing 1 pohon, kelapa muda 3 – 5 buah, nangka yang sudah masak 2 buah, 2 batang tebu yang masih lengkap dengan akar dan daunnya dan taba. Sementara itu di dalam rumah juga dimulai kegiatan membuat PUADE ( pelaminan ).
Perihal musik tradisional KAKULA adalah seperangkat alat musik yang terdiri dari KAKULA ( gamelan ) berjumlah 7 buah bernada pentatonis, 2 buah TAWA –TAWA ( gong ) dan 1 buah GIMBA ( gendang ). Alat musik ini memainkan aneka irama tradisi seperti NDUA-NDUA, PALANGA dan ANADARA BOTITO.

M O D U T U
MODUTU adalah proses pelaksanaan dekorasi kamar dan ranjang pengantin. Kelengkapan tata rias interior kamar dan ranjang pengantin terdiri dari aneka kain warna warni bersulam ornamen khas daerah. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh kaum wanita, dibantu kaum remaja yang dipimpin oleh orang tua adat dan ibu perias pengantin (TINA NUBOTI).

NOMANU – MANU DAN NOMPASOA
NOMANU – MANU merupakan sebuah tradisi dalam rangkaian upacara perkawinan bangsawan Kaili yang bersifat hiburan sebelum dilaksanakan upacara NOMPASOA (mandi uap) bagi calon pengantin pria. Dalam prosesi upacara adat ini calon pengantin pria bersama 6 orang pria lainnya mengenakan sarung panjang ( BUYA AWI ) berwarna - warni yang menutup seluruh badan mereka. Ketujuh pria ini, termasuk calon pengantin pria oleh orang tua adat wanita diraba di bagian kepala untuk dicari / ditebak mana calon pengantin pria yang sesungguhnya.
Prosesi ini biasanya berlangsung agak lama karena postur tubuh ketujuh pria ini hampir sama. Setelah ditemukan, calon pengantin pria dibawa oleh orang tua adat wanita (TOPOPASOA) ke tempat mandi uap yang telah disiapkan, lalu calon pengantin pria pun dimandi uapkan (NIPASOA).
Adapun kelengkapan untuk mandi uap (NOMPASOA) terdiri dari : sebuah loyang besar yang diisi air dingin, batu yang dipanaskan dan aneka daun dan kembang yang harum baunya.


N O G I G I
Menurut kepercayaan To Kaili ( orang Kaili ), setiap calon pengantin sebelum melangsungkan akad nikah sebagian bulu – bulu badan keduanya harus dicukur yang dianggap sebagai sumber kecelakaan hidup, biasa disebut VULU CILAKA. Bagi calon pengantin perempuan, yang dicukur adalah bagian – bagian rambut bagian depan termasuk bulu – bulu tengkuk, alis mata dan bagian bulu kepala bagian muka serta tangan dan kaki, harus dilicinkan. Sementara bagi calon pengantin pria hanya pada bagian alis atau tengkuknya saja. Mencukur sebagian bulu badan inilah yang disebut NOGIGI.
Upacara NOGIGI dilakukan oleh orang tua adat wanita, juga bertujuan untuk memantapkan keyakinan kedua calon pengantin bahwa mereka telah siap meninggalkan masa mudanya dan secara mental siap menghadapi hari depan mereka dengan keyakinan yang kokoh, kuat dalam dirinya masing-masing.
Bagi kalangan bangsawan Kaili, sebelum dicukur (NIGIGI), calon pengantin perempuan dari kamarnya diangkat dengan kursi ke kamar adat yang telah disiapkan, menggunakan sarung panjang (BUYA AWI) dan saat dicukur calon pengantin dipangku oleh ibunya sebagai tanda kasih saying pada si anak.
Selain pisau cukur, dalam upacara NOGIGI juga disiapkan kelengkapan berupa segelas air, daun kamonji, silaguri, patoko dan siranindi. Selain itu disiapkan pula JAJAKA, terdiri dari : gula merah, 1 butir telur ayam, 1 buah kelapa yang sudah bertunas, 3 ikat padi, 1 buah benang, 1 mangkuk beras yang di atasnya diletakkan sebatang sirih dan pinang.

MOKOLONTIGI
MOKOLONTIGI artinya malam pacar,sebuah upacara adat turun temurun yang dilaksanakan oleh etnis Kaili, sehari sebelum melangsungkan akad nikah.
Nokolontigi dimaksudkan sebagai :

1. Memberikan kekuatan kepada calon pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan dan roh – roh jahat
2. Memberikan makna dan arti simbolik bagi keduanya tentang ancaman bilamana terjadi perceraian
3. Agar kedua calon pengantin umur panjang, mudah rezeki, hati yang terang dan pikiran yang tajam
Yang paling pokok dalam acara Nokolontigi adalah berkumpulnya seluruh sanak keluarga, kerabat dan handai taulan yang memberi doa restu disertai harapan agar kelak calon pengantin dapat membangun mahligai rumah tangga yang hakiki, sakinah, mawaddah warahma.
Dalam adat PITUMPOLE, pelaku MOKOLONTIGI terdiri dari 7 orang laki – laki dan 7 orang perempuan. Mereka umumnya adalah orang tua adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama.

Perangkat pokolontigi terdiri dari :

Bantal, umumnya dipakai sebagai pengalas kepala saat tidur, melambangkan kehormatan dan martabat seseorang.
Kain Putih, simbol dari kesucian dan keagungan, bermakna agar calon pengantin dalam kehidupannya kelak cukup sandang, dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka selalu berada di jalan yang lurus, suci, diridhoi oleh Allah SWT di dunia dan akhirat.
Daun Pisang, perlambang pohon yang dingin dan sejuk, mudah tumbuh berketurunan, bermakna agar kedua calon pengantin tetap dalam suasana kesejukan, hidup aman dan tentram, diberi keturunan yang saleh atau salehah.
Air, lambang kehidupan. Siklus kehidupan di bumi ini selalu tergantung pada air. Bagi calon pengantin, bermakna kesinambungan hidup, umur panjang, banyak rezeki, meluap bagai mata air, mengalir tak henti, suci dalam berpikir lahir dan bathin.
Daun kolontigi atau daun pacar, apabila diletakkan di telapak tangan akan menjadi merah. Makna simbolik dari warna merah adalah keberanian, ikrar yang tak bias dipungkiri oleh kedua calon pengantin bahwa mereka telah resmi bertunangan, tidak boleh melirik wanita atau pria lain. Kolontigi juga sebagai lambang kesenangan dan membuat hati terang
Minyak, melambangkan kehidupan yang mapan, tak ada hambatan dalam mencari rezeki, licin bagai minyak. Disimbolkan pula sebagai strata kehidupan, karena bila di air, minyak akan selalu di atas. Begitupun kehidupan kedua calon pengantin kelak.
Bedak, perlambang sebuah perlindungan dan pesona aura. Olehnya, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kedua calon pengantin selalu terlindungi, memperoleh kebahagiaan, kesejahteraan, kesejukan, pesona aura kecantikan dan ketampanan mereka tetap terjaga, sejuk dan damai.
Lilin, yang diputar di depan calon pengantin bermakna sebagai suluh atau obor penerang dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kemudian ditiup sampai padam oleh calon pengantin yang bermakna untuk mengusir iblis yang selalu menggoda hati manusia. Kita ketahui bahwa iblis diciptakan Allah SWT dari api. Kemudian arang dari sumbu lilin yang dipadamkan diletakan di dahi, leher dan pusat. Hal ini bermakna sebagai tolak bala atau pelindung dari godaan iblis dan roh jahat yang masuk dari mata, ubun – ubun, telinga, tenggorokan dan pusat.
Beras Kuning, bermakna semoga calon pengantin memperoleh perlindungan, kesehatan, kesejahteraan, selamat dan bahagia serta maghfirah dari Allah SWT.
Setelah NOKOLONTIGI selesai, calon pengantin pria diberikan sarung untuk dikenakannya dari keluarga calon pengantin perempuan, yang disebut NIPASALINGI.
NIPASALINGI dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan bagi calon pengantin pria yang nantinya secara resmi menjadi anggota keluarga calon pengantin wanita.

MANGGENI BOTI
Didahului dengan kedatangan utusan penjemput dari pihak keluarga calon pengantin wanita yang datang ke rumah calon pengantin wanita, calon pengantin pria dan rombongan pengantarnya siap menuju rumah calon pengantin wanita untuk pelaksanaan akad nikah. Dari SOURAJA (kediaman Raja), calon pengantin pria diantar / diarak oleh rombongan orang tua adat, tokoh masyarakat, pemuka agama, kerabat dan keluarga. Prosesi mengantar calon pengantin pria ini disebut MANGGENI BOTI.
Bagi kalangan bangsawan Kaili, calon pengantin pria dinaikkan ke punggung seekor kuda yang telah disiapkan lalu dibawa berjalan menuju rumah calon pengantin wanita. Calon pengantin ini dikawal oleh 2 orang pemuda yang juga berkuda, dengan pakaian adat lengkap yang disebut PANGAMPI sebagai simbol kebesaran.
Pasukan pengawal lainnya yang berada pada posisi terdepan adalah TOPEAJU. Pasukan ini dikenal gagah berani, siap menghalau musuh atau orang – orang jahat yang mencoba menghalangi rombongan calon pengantin pria di sepanjang perjalanan.Mereka dilengkapi dengan senjata khas Kaili berupa DOKE ( tombak ), KALIAVO ( perisai ) dan GUMA (parang panjang).
Sepanjang perjalanan menuju rumah calon pengantin wanita, TOPEAJU memekikkan teriakan – teriakan heroik atau NEAJU sebagai simbol semangat dan kegigihan mereka untuk mengawal calon pengantin. Selain itu, iring – iringan calon pengantin pria juga dimeriahkan oleh tetabuhan musik tradisi RABANA.


MBATOMUNAKA BOTI
Inilah prosesi penjemputan calon pengantin pria sebelum memasuk pintu gerbang rumah calon pengantin wanita, MBATOMUNAKA BOTI ( penjemputan pengantin ).
Di pintu gerbang rumah calon pengantin wanita telah siap pasukan bersenjata khas lengkap ( TOPEAJU ). Perang – perangan pun terjadi antara TOPEAJU dari pihak calon pengantin pria dengan TOPEAJU dari calon pengantin wanita. Ibaratnya mereka saling bersikukuh untuk mempertahankan kebesaran Rajanya. Di satu pihak mencoba untuk menerobos masuk, namun pihak lainnya menghalangi.
Suasana perang pun menjadi damai setelah sang Raja dan Permaisuri (ayah dan ibu kandung calon pengantin wanita) datang menjemput calon menantunya untuk dibawa ke dalam rumah mereka melaksanakan prosesi akad nikah sambil diiringi musik tradisi KAKULA.
Setelah turun dari kuda sambil diantar oleh kedua calon mertua, calon pengantin pria berjalan dan dipayungi dengan paying kebesaran kerajaan. Memasuki halaman rumah, calon pengantin pria berjalan diatas hamparan daun pinang yang dilapisi kain putih sampai di tangga rumah calon pengantin wanita.
Sebelum menaiki tangga rumah dilakukan prosesi PETAMBULI (sebuah prosesi dialog menggunakan bahasa adat Kaili sebagai salam hormat untuk memasuki rumah calon pengantin wanita). Seorang tetua adat ( TOPETAMBULI ) dari calon pengantin pria sambil memegang DOKE (tombak) menyampaikan salam….. Ri pura – puramo tupu banua (sudahkah ada semua tuan rumah). Lalu dijawab oleh tetua adat dar calon pengantin wanita……. Ri pura – puramo, le nague – gue (sudah ada semua, tidak ada yang kurang). Kemudian dilanjutkan oleh tetua adat calon pengantin pria dengan kata –kata…….. Muli ntopebolai kana mebolaimo, yang dijawab oleh tetua adat calon pengantin wanita……. Muli ntopebolai kana rabolaimo artinya keturunan asal dari orang meminang harus dipinang yang dijawab keturunan asal dipinang mesti harus dipinang.
Setelah prosesi PETAMBULI selesai, calon pengantin pria oleh tetua adat wanita diulurkan CINDE untuk dipegangnya sambil ditarik masuk ke dalam rumah dan dihamburkan beras kuning ( NIKAMBU OSE KUNI ) sampai calon pengantin duduk di tempat yang telah disiapkan.
CINDE adalah perangkat adat untuk menjemput calon pengantin pria atau tamu agung yang berkunjung di Tana Kaili. CINDE terbuat dari kain putih dililit dengan MBESA (kain tenunan khas, dulu bahannya terbuat dari kulit kayu) yang panjangnya 4 atau 8 meter. Ujung lilitannya diisi telur ayam 1 butir, gula merah dan beras. Untuk menguatkan lilitannya digunakan PONTO NDATE atau gelang panjang.
ULU CINDE ( diulurkan cinde ) dan NIKAMBU OSE KUNI (dihamburkan beras kuning) bermakna simbolik agar calon pengantin murah rezeki, dapat merasakan manisnya kehidupan, kompak dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan senantiasa diberi perlindungan dari Tuhan Yang maha Esa.

M O N I K A
MONIKA artinya akad nikah. Sebelum prosesi akad nikah dilaksanakan, terlebih dahulu diawali dengan penyerahan SAMBULU GANA ( sirih pinang lengkap ) dari utusan yang telah dipercayakan oleh pihak keluarga calon pengantin pria yang diterima oleh penerima sambulu yang telah dipercayakan oleh pihak keluarga calon pengantin wanita. SAMBULU GANA dianggap sebagai kepala adat ( BALENGGA NU ADA ) untuk memulai sebuah prosesi adat pernikahan PITUMPOLE bagi kalangan bangsawan etnis Kaili di lembah Palu. Dalam adat istiadat Kaili, SAMBULU GANA harus berkepala ( NOBALENGGA ) berupa 1 ekor kambing, berotak ( NOUNTO ) berupa cincin emas, berisi ( NOISI / NOKANDEA ) berupa beras 25 liter. Selain SAMBULU GANA, juga diserahkan SUNDA ( mahar / mas kawin ), biasanya berupa uang tunai dan seperangkat alat shalat.
Setelah serah terima SAMBULU GANA dan SUNDA dilaksanakan, dilanjutkan dengan pelaksanaan Ijab Kabul. Secara umum jalannya prosesi acara ini sesuai dengan syariat agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk kota Palu.

NOGERO JENE
Setelah ijab kabul dilaksanakan, pengantin pria diantar ke kamar pengantin wanita untuk membatalkan wudhu atau NOGERO JENE. Turut serta dibawa masuk ke kamar pengantin wanita oleh pengantar pengantin pria adalah SAMBULU GANA dan SUNDA ( mahar ).
Prosesi acara ini umumnya mengikuti aturan sesuai syariat agama Islam.

NOPATUDA
NOPATUDA artinya duduk bersanding bagi kedua pengantin. Inilah saat kedua pengantin duduk di pelaminan ( PUADE ) untuk disaksikan oleh seluruh yang hadir. Bagi kalangan bangsawan etnis Kaili, tata cara duduk kedua pengantin mempunyai aturan tertentu yakni NOSULEKA atau duduk bersila bagi pengantin pria dan bagi pengantin wanita, kaki kanannya diangkat, kedua tangan dipangku dan diletakkan di atas lutut kanan. Busana yang dipakai pengantin juga mencerminkan ciri khas bangsawan yaitu warna kuning.



Adapun kelengkapan busana dan aksesoris pengantin bangsawan etnis Kaili adalah :
Yang digunakan pengantin wanita :
- Baju Gembe ( baju yang bentuknya agak besar )
- Geno ( kalung )
- Pavala ( gelang lengan )
- Paseda ( gelang bundar )
- Pungu Tandu ( sanggul berbentuk tanduk )
- Utu utu ( kain penutup kepala )
- Jimawalu, jima jiji, dali taru ( anting – anting panjang )
- Gogo ( kalung yang mengikat lehar )
- Geno ( kalung panjang di dada )
- Sampoaro ( kalung lebar )
- Kavari ( kalung yang tergantung di dada sampai punggung )
- Ponto Ndate ( gelang panjang )
- Lola ( gelang kaki )
- Vinti ( gelang kaki )

Yang digunakan pengantin pria :
- Baju Banjara ( baju lengan panjang )
- Puruka Ndate ( celana panjang )
- Sigara ( destar / penutup kepala )
- Geno ( kalung panjang di dada )
- Pavala dan Paseda ( gelang )
- Sulepa ( ikat pinggang )
- Keri ( keris )
Semua aksesories yang digunakan pengantin terbuat dari emas. Demikian pula ornament yang menghiasi busananya, disulam dari benang emas.
SESUDAH PERKAWINAN

MANDIU PASILI
Ini adalah prosesi adat perkawinan di Tana Kaili bertujuan untuk mempererat hubungan suami istri, agar keduanya dapat hidup rukun dan damai. MANDIU PASILI atau mandi kembang bagi pengantin, dilakukan di depan pintu rumah pengantin wanita. Kedua pengantin yang telah resmi menjadi suami istri memakai sarung panjang ( BUYA AWI ). Pria duduk di atas sebilah kapak, sedang wanita duduk di atas alat tenun tradisional yang disebut BOKO – BOKO, disampingnya diletakkan rumput PAKELA dan SILAGURI.
Kedua jenis rumput ini kecil bentuknya tetapi akarnya sangat kuat menghujam melekat di dalam tanah.
Perangkat MANDIU PASILI, selain loyang besar berisi air yang telah dicampur dengan ramuan aneka kembang dan daun yang harum juga ada mayang kelapa dan mayang pinang. Untuk memayungi kedua pengantin saat dimandikan, diletakkan kain putih dan jala ikan yang di atasnya ditaruh sebutir telur ayam. Kain putih dan jala ini dipegang oleh 4 orang ibu – ibu yang membantu jalannya prosesi MANDIU PASILI.
Oleh ibu pengantin ( TINA NUBOTI ) sebelum kedua pengantin disiram dengan air kembang terlebih dahulu dibacakan mantera – mantera ( GANE – GANE ) ….. He Tupu, yaku mo mandiu pasili ana botiku, maliuntinuvu, mandate kaloro, masempo dale, ne maraya mbulu …… artinya Hai Tuhanku, aku memandikan kedua pengantin ini, agar perkawinan mereka langgeng sampai akhir hayat, panjang umur, murah rezeki dan tidak mengalami banyak penyakit. Selanjutnya kedua pengantin dimandikan oleh ibu pengantin.
Setelah selesai dimandikan, oleh ibu pengantin kedua pengantin disatukan dengan ikatan kain putih pada pinggang mereka dan dibawa berjalan masuk ke dalam rumah. Penghamburan beras kuning ( NOKAMBU ) tetap dilakukan. Setelah sampai di dalam rumah dan kedua pengantin duduk pada tempat yang telah disiapkan, mereka NILILI atau diputarkan lilin yang masih menyala di atas kepala keduanya lalu ditiup untuk dipadamkan bersama. Arang dari sumbu lilin yang dipadamkan itu ditetakkan di dahi,leher dan pusat kedua pengantin. Ini bermakna agar keduanya tidak diganggu oleh roh atau ilmu jahat yang menurut kepercayaan orang Kaili biasa masuk lewat ubun – ubun, leher atau pusat. Di akhir prosesi MANDIU PASILI dilakukan pembacaan do’a secara syariat agama Islam sebagai ungkapan kesyukuran pada Tuhan Yang maha Esa.

MEMATUA
Selain sebagai bagian akhir dari seluruh prosesi upacara adat perkawinan PITUMPOLE, kalangan bangsawan etnis Kaili, MEMATUA adalah kunjungan pertama pengantin wanita ke rumah mertuanya. Upacara adat ini bertujuan untuk memberi penghargaan dan penghormatan pengantin wanita dan kerabat keluarganya kepada kedua mertuanya.
Sebelum berkunjung ke rumah mertuanya, terlebih dahulu pengantin dan rombongan yang akan mengantar mereka dijemput oleh utusan dari pihak keluarga pengantin pria sebagai isyarat bahwa keluarga pengantin pria telah siap menerima kunjungan mereka. Dalam kunjungan MEMATUA, rombongan pengantar juga membawa PETAMPARI ( cinderamata ) dan PO’OLO ( aneka kue khas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sesajian bertingkat ).
Sebelum masuk ke rumah pengantin laki - laki, kedua pengantin di tangga rumah terlebih dahulu menginjakkan kaki di DULA NU ADA ( dulang adat ). Hal ini bermakna agar kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah tangga selalu rukun, damai dan sejahtera. Semua dilambangkan dengan kelengkapan perangkat DULA NU ADA yang terdiri dari : kapak besi, rumput silaguri, rumput pamanu, daun kamonji, siranindi yang semuanya diletakkan di atas nampan / dulang besar.
Menginjakkan kaki di atas DULA NU ADA merupakan simbolik pernyataan kepribadian yang kokoh, kuat, bersatu dengan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam berumah tangga. Setelah itu kedua pengantin diulurkan CINDE dan dihamburkan beras kuning ( NIKAMBU OSE KUNI ) oleh tetua adat wanita, dibawa sampai pada tempat duduk mereka yang telah disiapkan.
Bagian lain dari prosesi MEMATUA adalah NEINGGA dan NOSIPAKANDE. NEINGGA ditandai dengan pengikatan BOTIGA pada pergelangan tangan kanan pengantin wanita.
BOTIGA, terbuat dari manik – manik yang yang ditusuk dengan benang. Bila telah diikatkan pada pergelangan tangan pengantin wanita, ini berarti pertanda bahwa pengantin wanita telah resmi menjadi anak mantu sekaligus anggota keluarga pengantin pria dan berhak mengemukakan pendapat dalam musyawarah keluarga, bila diperlukan. Hal ini juga bermakna agar pengantin wanita dapat berbaur atau mosimposoa dengan keluarga, termasuk anak cucu kelak, hidup sehat walafiat tanpa goresan – goresan pada kulit atau berpenyakit kulit, yang dalam bahasa kaili ala nemo makata, makadoa dan sebagainya.
Setelah NEINGGA dilanjutkan dengan NOSIPAKANDE, dimana kedua pengantin saling memberi makan dan minum sambil dituntun oleh seorang tetua adat wanita.
Sajian makanan dalam NOSIPAKANDE terdiri dari UTA TAVA TOMOLOKU (sayur daun ketela rambat), BAU ( ikan ), DAGI ( daging ) dan segelas air putih. Semuanya bermakna agar kasih sayang diantara kedua pengantin tak kan pupus, saling menjaga dan melindungi, hidup berketurunan seperti tumbuhnya ketela rambat.
Setelah semua prosesi NOSIPAKANDE selesai, dilanjutkan dengan pembacaan do’a menurut syariat agama Islam.
Sebelum kedua pengantin disandingkan di pelaminan, rangkaian upacara adat MEMATUA diakhiri dengan pemberian cindera mata ( PETAMPARI ) dari ayah dan ibu kandung pengantin pria, saudara kandung dan keluarga dekatnya kepada anak mantu sebagai wujud tali kasih atas kebahagiaan mereka atas selesainya hajatan perkawinan yang telah dilaksanakan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar